Bombana, Tajukinfo.com – Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day yang jatuh pada 1 Mei seharusnya menjadi momentum perayaan perjuangan dan solidaritas kaum pekerja. Namun bagi puluhan buruh PT Panca Logam Makmur (PLM) di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), hari buruh justru menjadi pengingat atas nestapa dan ketidakadilan yang terus mereka alami.
Asdar, salah seorang buruh PLM, menyuarakan keluh kesah yang menurutnya tak kunjung mendapat perhatian. Ia bersama puluhan buruh lainnya selama berbulan-bulan tidak menerima gaji dari perusahaan tambang emas tersebut. Ironisnya, ketika mereka menyuarakan hak-haknya, justru berujung pada kriminalisasi.
“Kita dituduh melakukan pengrusakan, menghalangi pekerja. Dan hal itu langsung diatensi sama pihak kepolisian. Padahal kami sudah berulang kali melaporkan pelanggaran Panca Logam namun tak diindahkan oleh kepolisian,” ungkapnya.
Menurutnya, laporan balik atas tuduhan itu telah dilayangkan ke kepolisian. Namun, kasus yang sempat berjalan tersebut akhirnya dihentikan tanpa alasan yang jelas.
“Saya sudah lapor polisi, tapi laporan saya malah dihentikan. Sementara laporan mereka diproses cepat. Di mana keadilan untuk buruh seperti kami,” katanya.
Lebih memilukan lagi, lanjut Asdar, beberapa rekan kerjanya mengalami kondisi kesehatan serius akibat paparan bahan berbahaya saat bekerja. Salah satunya, Najamudin, buruh yang bertugas membakar emas dan merkuri, mengalami gangguan kesehatan parah hingga saat ini akibat terkena paparan merkuri.
“Najamudin sakit parah karena terus-menerus terpapar merkuri. Tapi perusahaan tidak pernah peduli, tidak ada biaya pengobatan. Mereka lepas tangan,” ungkapnya.
Bahkan tambahnya ada karyawan yang meninggal dunia atas nama Irwan akibat tenggelam di bekas galian yang dibiarkan, tetapi tidak mendapatkan santuan atau perhatian. Parahnya, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan emas itu menuding almarhum lalai dan melakukan penambang ilegal.
“Menurutku ini hanya dalih perusahaan agar terlepas tanggungajawabnya terhadap korban (Almarhum),” ungkapnya.
Tak hanya soal gaji dan kesehatan kerja, para buruh juga menghadapi persoalan serius terkait hak jaminan sosial. Mereka menyebut telah dipotong gajinya untuk iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, namun saat dicek ke instansi terkait, mereka tidak terdaftar sebagai peserta aktif.
“Kami merasa dibohongi. BPJS kami ternyata fiktif. Sudah kami laporkan ke Polda Sultra, tapi seperti biasa, tidak ada tindak lanjut. Kasusnya dipeti-eskan,” ujar Asdar.
Kondisi itu diperparah dengan dalih manajemen PLM yang mengaku akan menjual aset untuk membayar tunggakan gaji. Namun, sampai saat ini janji itu tak kunjung terealisasi. Para buruh terus hidup dalam ketidakpastian.
“Kami sudah bolak-balik lapor ke Dinas Tenaga Kerja, tapi tidak pernah ada tindakan nyata. Rasanya hukum ini tumpul jika berhadapan dengan perusahaan besar seperti PLM,” tegasnya.
Asdar menyebut, Hari Buruh bukan lagi momen perayaan bagi para buruh di Bombana. Ia justru merasa Hari Buruh menjadi saksi atas ketidakadilan yang sistematis dan pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak dasar pekerja.
“Kami tidak bisa merayakan May Day. Buat kami, ini hari duka. Hari di mana kami kembali menyadari bahwa negara seolah absen dari penderitaan kami,” katanya.
Atas situasi tersebut, Asdar mewakili puluhan buruh PLM bermohon kepada pemerintahan yang baru di bawah Presiden Prabowo Subianto agar memberikan atensi dan perlindungan nyata terhadap buruh, terutama mereka yang bekerja di sektor-sektor berisiko tinggi seperti pertambangan.
“Pak Presiden, tolong kami. Kami minta keadilan. Jangan biarkan perusahaan besar terus menindas kami tanpa ada hukum yang melindungi,” tandasnya.
















